.:: Suami oh Suami ::.

Rabu, 17 Desember 2008

“Sudah sejak kami masih pengantin baru dia seperti itu mbak.. paling tidak enak dihatiku mendengar kalimat ‘menyesal aku kenapa dulu mau menikah sama kamu dik…’ hanya karena aku mengingatkannya untuk tidak sering pulang malam jika pekerjaan sudah selesai..” kudengar lagi kalimat itu untuk kesekian kali, kulihat wajahnya sambil mencari jejak air mata yang lagi-lagi keluar…entah untuk kesekian kalinya. Belum lagi suaminya yang sudah beberapa hari tidak pulang dan seringkali seperti itu sejak pengantin baru. Padahal usia pernikahan mereka baru genap setahun dan telah dikaruniai seorang putra yang lucu. Menurutku bukan hal yang wajar bagi pasangan pengantin baru yang harusnya sedang senang-senangnya merenda hari-hari bersama, dan harusnya akan selalu seperti itu…


Terlalu naïf memang jika aku tampak membela sang istri…hanya karena aku perempuan. Tapi aku bisa memahami dengan pasti bagaimana perasaannya, bagaimana jika pekerjaan suami yang menuntun dia harus berangkat pagi-pagi sekali dan baru pulang hingga larut malam…disaat anaknya telah tidur dan istrinya menunggu dengan setia, tapi justru ketika akhir pekan dia menghabiskan waktunya ditempat lain entah dimana… tidak wajarkah jika seorang istri merindukan keberadaan suaminya…bukan karena suaminya tengah melaksanakan tugas ditempat yang jauh hingga harus menahan kerinduan karena terpisah jarak dan waktu… bukan juga karena suaminya pergi berjihad hingga dia harus mengikhlaskannya demi Ridho Allah SWT.. tapi karena suaminya lebih memilih menghabiskan waktu akhir pekan atau waktu luang di akhir kerjanya entah dimana…dengan alasan yang tidak pernah diketahuinya…dan tidak mengetahuinya…


Terlepas dari kekurangan dan kelebihan yang dimiliki sang istri, seorang suami berkewajiban untuk menjaga amanah baru yang dia terima melalui ikrarnya di hadapan Allah SWT. Meski suami berhak untuk marah atau tidak menggauli istrinya dengan tujuan untuk menghukum atau memberikan pelajaran…tapi hendaknya dengan cara yang baik dan tidak menyinggung hati istrinya. Komunikasi yang baik mutlak diperlukan dalam menjalankan roda kehidupan berumah tangga. Bagaimana pasangan baru bisa saling menghargai adanya perbedaan, dan kebiasaan pasangan yang mungkin bertolak belakang dengan kebiasaannya, bagaimana memberikan penjelasan tentang apa yang dirasakan dari pasangannya maupun bagaimana menyikapi penjelasan yang diterima dari pasangan.


QS. An-Nisa’ (19): Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.


Hal ini berkaitan dengan masa taaruf sebelum diputuskan untuk melanjutkan pada tahap khitbah… Memang tidak mungkin bisa mengetahui secara keseluruhan bagaimana karakter dan kebiasaannya pada masa taaruf, namun hal tersebut dapat dilihat dari prinsip hidup yang dia sodorkan, karenanya kriteria agama menjadi prioritas utama. Dari sana dapat kita fahami bagaimana akhlaknya serta bagaimana pandangannya akan kehidupan dunia dan akhirat serta bagaimana hubungannya terhadap sesama manusia. Apa visi dan misi hidupnya, karena kecenderungan manusia tidak bisa menerima perbedaan yang bersifat prinsip. Yah…tidak mungkin seorang muslimah bisa sejalan dengan seorang ahli minuman keras dan berjudi selama dia belum bertaubat, sementara prinsip hidup keduanya sangat bertolak belakang. Begitu juga sebaliknya, tidak mungkin seorang mukmin yang soleh menikah dengan perempuan yang sangat jauh prinsip hidupnya dari dirinya. Kita memang harus ekstra berhati-hati terhadap segala jenis tipu daya dunia yang melenakan, dunia dan segala isinya bukan akhir dari tujuan hidup kita, karenanya prioritas agama menjadi pilihan mutlak bagi siapapun manusia yang menghendaki kehidupan kekal yang lebih indah.


Wallahua’lam.

.:: SEMINAR PENANGGULANGAN HIV/AIDS ::.

"Apa hukumnya merokok menurut islam?”
“Kenapa orang usia produktif lebih banyak yang kena AIDS?”
“Syeikh Puji itu kan istrinya banyak, jadi ada kemungkinan dia kena AIDS ga?”
“Amrozi itu salah nggak sih mbak? Kenapa dihukum mati?”
“Kenapa orang kok banyak yang pake Narkoba?”

Begitulah sebagian pertanyaan anak-anak SLTP pada acara sosialisasi penanggulangan HIV AIDS dalam rangka peringatan Hari AIDS se dunia. Tidak mudah untuk memahami apa yang mereka fikirkan memang, meski gerak gerik dan perilakunya terkadang terlihat polos akan tetapi sebenarnya proses yang mereka alami banyak memberikan input yang seringkali tak tersaring serta memerlukan media untuk bisa mengurai keterbukaan. Hal itu bisa dilihat dari berbagai respon yang muncul manakala saya dan teman-teman memaparkan materi yang berkaitan dengan HIV AIDS yang salah satu penanggulangannya adalah dengan cara mengikuti sistem pergaulan secara islami.

Sorak sorai mereka begitu ramai manakala teman saya membahas tentang “pacaran”, khususnya siswa laki-laki, sedangkan siswi perempuan lebih banyak hanya tersenyum dan diam, respon alami memang, dimana anak perempuan memang dikenal lebih pemalu dan pendiam sementara anak laki-laki cenderung lebih berani berekspresi. Gelora serta rasa ingin tahu mereka yang cukup besar membuat mereka memberikan respon yang berbeda pada setiap anak terhadap input. Oleh karenanya, lingkungan tempat remaja tahap awal ini memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap proses perkembangan emosi mereka. Lingkungan terdekat, baik itu orang tua, teman, tempat beraktivitas, dll sangat berpengaruh terhadap kecerdasan remaja dalam menangkap nilai-nilai yang mereka dapatkan guna merumuskan prinsip hidup yang selanjutnya akan menjadi input bagi syaraf otak dan hati untuk bisa membedakan mana yang benar dan salah.

Pokok permasalahan utamanya adalah kecemasan terhadap permasalahan remaja ini tidak disadari sepenuhnya oleh remaja itu sendiri, mereka hanya berpandangan bahwa orang dewasa cenderung berlebihan dalam mewaspadai perilaku mereka. Sehingga komunikasi yang dibangun antara remaja dan orang dewasa yang terkait dalam lingkungannya (orangtua) menjadi hal paling penting untuk meningkatkan kesadaran remaja akan pentingnya kewaspadaan diri. Akan tetapi orangtua juga tidak bisa terlalu mengintervensi anak dalam proses pencarian jati dirinya, karena remaja justru akan merasa bahwa proses independensi dirinya terancam yang akan menimbulkan sikap tertutup dan lebih defensive terhadap setiap input yang diberikan oleh orangtua.

Terlepas dari berbagai pandangan tentang bagaimana menghadapi perlaku remaja dan segala permasalahannya, yang pasti saat ini diluar sana ada berbagai media dan pengaruh pergaulan global yang siap menggerus para remaja. Walaubagaimanapun, keimanan adalah benteng yang paling ampuh.

Wallahua’lam…

.:: IBU BERJILBAB Vs ANAK GADIS ::.

Rabu, 03 Desember 2008

Sekali lagi saya temukan pemandangan itu, seorang ibu berjilbab dengan anak gadisnya yang belia..yang membuat aneh adalah anak gadis itu dibiarkannya berjalan diluar dalam keadaan “setengah berbusana” (begitu biasanya saya dan ayah menyebut perempuan yang auratnya terbuka). Bagaimana mungkin seorang ibu yang telah berjilbab membiarkan putrinya yang sudah baligh dalam keadaan setengah telanjang seperti itu, terus terang saya prihatin dengan kondisi tersebut, bukan karena saya adalah manusia yang sempurna dan tidak bisa berbuat salah, akan tetapi secara kasat mata orang awwam pun akan bisa menilai bagaimana mungkin perintah wajib menutup aurat bagi seorang muslimah yang telah difahami oleh seorang ibu yang telah berjilbab tidak ditularkan terhadap anak gadisnya, jika anak gadis itu belum mengikuti ibunya yang berjilbab, minimal dia tidak memakai busana yang benar benar mempertontonkan aurat yang seharusnya ditutup dan dilindungi.

Pemandangan ini sudah seringkali saya temui, di mall, stasiun, di tempat casting, di kontes modeling, bagaimana seorang gadis dengan celana pendek, baju dengan lengan dan dada terbuka, berlenggak lenggok diluar dengan didampingi ibunya yang berjilbab, dan lebih aneh lagi…pada umumnya fenomena ini saya temukan pada kalangan keluarga “kelas atas”, mungkin fenomena ini terlalu pahit untuk diungkapkan, khususnya bagi yang bersangkutan (jika kebetulan membaca tulisan ini). Tapi itulah kenyataannya.. pemandangan yang sering saya temui inilah yang pada akhirnya menggelitik saya untuk menuliskannya.

Sebenarnya apa yang menjadi penyebab? Dalam hal ini apakah orangtua yang terlalu memberi kelonggaran “mendidik” seorang anak, ataukah seorang anak yang membangkang terhadap orangtua. Tetapi bukankah sudah menjadi kewajiban bagi orangtua untuk mendidik anak-anak yang telah diamanahkan Allah SWT kepadanya dengan memberikan pengetahuan agama yang baik sebagai bekal dalam mengarungi kehidupan, terutama dalam hal tauhid, akidah akhlaq dan fiqih. Dalam kaitannya dengan fenomena diatas adalah ketika sang ibu memahami bahwa menutup aurat adalah perintah yang wajib lantas kenapa masih memberikan kelonggaran pada anak gadisnya untuk mengumbar auratnya, apalagi dalam konteks pengembangan diri seperti yang saya sebutkan diatas. Saya rasa ada banyak media pengembangan diri yang luas tanpa harus melanggar batas-batas syar’i. Kalaupun pembangkangan terjadi pada seorang anak, maka orangtua berhak untuk memberikan pengertian yang tegas, apalagi perintah menutup aurat adalah perintah langsung dari Allah SWT yang memiliki kedudukan tertinggi daripada perintah orangtua.

Kelonggaran dan toleransi terhadap hal-hal yang “dianggap” kecil dan sepele belum tentu mendatangkan mudharat yang tidak besar nantinya, bisa jadi toleransi terhadap anak dalam hal menutup aurat dengan alasan apapun ternyata justru berdampak pada pergaulan yang justru membawa sang anak pada dunia yang jauh dari harapan orangtua. Saya sebagai muslimah yang juga sedang “belajar” ketika melihat pemandangan tersebut sejujurnya hati saya teriris, pedih, seketika saya cuma bisa memejamkan mata dan hanya bisa membathin, saya hanya membayangkan seandainya itu terjadi pada diri saya “bagaimana mungkin jika saya yang berjilbab kemudian membiarkan anak gadis saya yang telah baligh nyaris telanjang dihadapan umum - Naudzubillah Min Dzalik” Benarkah ini bagian dari fenomena akhir zaman, dimana sang ibu sebagai orangtua rela membiarkan aurat anak gadisnya ditelanjangi dengan bebas oleh mata kaum adam entah dengan alasan apapun, popularitas, kesuksesan, dll yang menurut saya pasti semu karena hanya berlandaskan keinginan duniawi semata. Bukankah setiap saat Allah bisa saja mengambil nyawa kita tanpa memandang berapa usia kita, apakah kita telah siap, apakah kita telah bertaubat, dan ketika nafas telah sampai di tenggorokan, apa dan siapakah yang kita ingat... Wallahua’lam.